EKSPEDISI
Tadulako. Sesuai namanya, sasaran perjalanan saya bersama enam pemuda
adalah Patung Tadulako di Lembah Behoa. Kebetulan dua di antara anggota
rombongan berasal dari Universitas Tadulako, perguruan tinggi di Palu.
Ekspedisi
berlangsung pada 24 April – 2 Mei 2002. Diawali dengan menumpang sebuah
truk dari Palu menuju Danau Tambing, 85 km selatan Palu. Malamnya, kami
menginap di tepi danau yang amat dingin, sekitar 15 derajat celsius,
maklum musim hujan.
Kamis,
25 April, kami memulai ekspedisi dari titik awal di Danau Tambing
(Kalimpaa), 1.700 m dpl di salah satu kawasan utara Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL), Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Kami menapaki jalur
selatan Lembah Napu (Lore Utara). Jalan berliku, menanjak dan menurun,
cukup melelahkan. Perjalanan hari pertama membawa kami istrahat di Desa
Toe yang lebih dikenal sebagai Desa Dodolo.
Dihadang hujan dan banjir
Kami kembali mendirikan tenda, kali itu di samping jembatan, dekat base station
Motorola milik Balai TNLL (BTNLL). Rupanya, kegiatan kami memasang
tenda sambil memasak nasi dan air dengan kompor rakitan dari kaleng susu
menarik perhatian warga setempat.
Mereka
tak hanya datang menonton, tapi juga memasok air bersih, karena sungai
sedang banjir. Salah seorang yang cukup besar bantuannya pada kami
adalah Pak Djakariah Kaiyo, sarjana pendamping masyarakat yang sudah
menjadi warga Dodolo sejak tahun 1994. Ia sukarela mengantar kami
melapor ke rumah kepala desa, juga membantu soal logistik.
Menjelang
sore hari kedua kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Talabosa.
Celakanya, saat itu hujan turun. Atas persetujuan Kades Talabosa, D.S.
Ragi, kami bermalam di baruga (rumah pertemuan) milik BTNLL. Di sana pun
kami disambut baik, sebagaimana di desa-desa sebelumnya.
Dari
beberapa pemuka masyarakat kami mendapat informasi tentang adat
istiadat, sejarah, sumber daya alam dan berbagai hal mengenai Lembah
Napu/Behoa di Tanah Lore. Memang sepanjang perjalanan, kami selalu
mengumpulkan informasi, baik latar belakang sejarah, keberadaan
benda-benda megalit, maupun sumber daya alam.
Perjalanan
demi perjalanan dilakoni, meski badan pegal dan kaki lecet-lecet. Hari
ketiga, Sabtu (27 April), kami meninggalkan Talabosa. Mestinya kami bisa
langsung ke Desa Doda, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, 170 km selatan
Kota Palu, yang baru dimekarkan September 2001. Namun, hujan semalam
meruntuhkan jembatan Sungai Torire. Kami terpaksa menunggu sampai sore
hari sembari menanti selesainya rakit bambu buatan warga Desa Torire.
Setelah
menyeberang dengan rakit pada sore harinya, kami pun bermalam di baruga
di tengah perkampungan Torire. Di desa ini pun kami banyak mendapat
informasi mengenai sejarah Tanah Behoa dan berbagai kekayaan TNLL. Di
TNLL terdapat sebaran terutama satwa endemik Sulawesi, seperti anoa,
babirusa, rusa, tarsisus, musang, dan lainnya.
Tanah
longsor dan jembatan rusak, sangat menghambat perjalanan ekspedisi
kami. Menurut warga setempat, ambruknya jembatan Sungai Torire, terjadi
sudah untuk kesekian kalinya. Penyebabnya, musim hujan, yang disusul
banjir setiap saat. Konstruksi jembatan beton juga tidak sesuai dengan
tanah pinggir sungai yang labil, sehingga mudah terbawa arus sungai.
Selama dua bulan sebelumnya, jembatan tersebut sudah tiga kali rubuh.
Malah, akhir Maret lalu, tragedi itu menelan dua korban jiwa setelah
terjungkal bersama truk yang ditumpanginya.
Megalit monumental
Kami
meninggalkan Torire pada Minggu, 28 April, usai sarapan untuk
menjelajah sejauh 18 km menuju Desa Doda. Sepanjang jalur Torire - Doda
jalan tertimbun longsor karena erosi. Banyak pohon tumbang merintangi
jalan, menghambat lancarnya transportasi. Bisa dimengerti dampak
selanjutnya, harga barang kebutuhan sehari-hari pun jadi jauh lebih
mahal di Lembah Behoa.
Kami
menginap di baruga desa. Baruga Doda paliang besar dan nyaman. Dua
kamar yang tersedia membuat tubuh kami merasa lebih hangat, nyaman.
Maklum musim hujan di Lembah Napu dan Behoa terasa sangat dingin bagi
kami yang biasa berada di daerah panas Palu.
Bendera
merah putih yang dikibarkan di beranda baruga memancing warga untuk
singgah. Sikap hangat mereka membuat kami tidak merasa terasing. Bahkan
seorang warga dekat baruga meminjami pelita minyak tanah untuk
penerangan. Maklum, saat itu perangkat dinamo Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA) yang dibuat tahun 1989 dan selama ini jadi penerang desa –
rusak sejak Januari lalu.
Doda
berpenduduk 1.015 jiwa dengan luas 16.548 hektar, yang dikelilingi
pegunungan. Selain dikenal memiliki pemandangan sangat indah, di sana
banyak terdapat benda purbakala megalit yang asal-usulnya diperkirakan
dari masa antara 2.000 – 500 tahun SM. Wah, mungkinkah sejak itu pula
kawasan ini sudah menjadi hunian manusia?
Sore
hari, dua jam setiba di sana, kami pun berkunjung ke situs megalit
bernama Padang Tadulako, jaraknya 1,5 km dari baruga. Kami melewati
pematang sawah, rawa-rawa tempat kerbau berkubang, dan rimbunanya padang
ilalang.
Dari
jauh sudah tertangkap mata di antara hamparan padang Buleli tegak
berdiri Patung Tadulako. Patung setinggi 2 m itu menjadi patung
monumental, tertinggi dan terbesar di lembah Behoa.
Patung
itu berdiri kokoh, tegak lurus dengan langit. Bentuk kepalanya terlihat
tidak rata di bagian atasnya, sedikit ada benjolan. Secara fisik
pembuatannya agak kasar dibanding dengan Palindo, patung besar setinggi 4
m di Lembah Bada, sekitar 30 km dari Behoa.
Pembuatan
Patung Tadulako tampaknya lebih sederhana. Beberapa cirinya tampak
unik, jidatnya tidak terlalu menonjol, hidung pesek tapi agak memanjang,
dan mata lebar.
Tangannya
pun tidak terlalu besar, tampak terulur ke bawah dekat kelamin. Bagian
bawah (pusar) menunjukkan jenis kelamin laki-laki, sebagai simbol
keperkasaan atau ketadulakoan bagi laki-laki.
Istilah
Tadulako ditemui di dalam kehidupan beberapa suku di Sulawesi Tengah,
yakni suku Behoa, Napu, Bada, Mori, Kaili dan Pamona. Suku-suku yang
menggunakan istilah Tadulako tersebut memiliki kekerabatan yang kuat
ditandai kesamaan subdialek bahasa, adat-istiadat, dan latar belakang
sejarah.
Jadi, Tadulako tak hanya menjadi simbol keteladanan, kepemimpinan, dan keberanian nenek moyang suku Behoa.
Itu
karena, menurut K.S. Malonta, tokoh masyarakat adat Behoa di Desa
Torire, “Nama Tadulako untuk patung di Behoa itu, sudah dikenal sejak
dulu. Nama itu juga simbol persatuan dan kesatuan.”
Di
dekat Patung Tadulako terdapat dua Kalamba, semacam gentong batu besar.
Tiga megalit tersebut hanya sebagian kecil dari puluhan patung manusia
baik yang berdiri maupun yang rebah, kalamba, batu-batu dakon, dan
lainnya yang tersebar di lembah Behoa. Tak hanya berujud patung manusia,
ada juga patung kerbau, biawak, dan monyet. Patung-patung itu terletak
di Bukit Pokokea, Kampung Bariri, sekitar 4 km dari Doda. Peninggalan
megalit juga dapat ditemukan di Desa Hanggira dan Lempe.
Masalahnya, apakah orang Behoa yang membuat peninggalan arkeologi tersebut?
“Secara
turun-temurun kami hanya tahu bahwa benda itu merupakan peninggalan
zaman dahulu. Kami tidak tahu, apakah leluhur kami yang membuat atau
bukan,” kata Eka Mujianto Winono tokoh masyarakat Doda yang asli Suku
Behoa.
Rumah tua antigempa
Selain
peninggalan megalit, di Doda terdapat pula rumah tua berusia ratusan
tahun dengan arsitektur tradisional Suku Behoa. Masyarakat menyebut
Tambi sebagai tempat kediaman dan Buho untuk lumbung padi. Dua bangunan
itu terletak di dekat lapangan bola, setelah sebelumnya si pemilik
memindahkan dari permukiman lama dekat sebuah bukit.
Kedua
bangunan tua milik T. Taro (71) itu terakhir kali ditempati tahun 1971.
Taro memilih menempati rumah biasa di samping Tambi, menyusul
dijadikannya rumah itu untuk cagar budaya oleh Direktorat Perlindungan
Sejarah dan Purbakala.
Seluruh
bagian bangunan Tambi maupun Buho terbuat dari kayu pilihan, baik tiang
penyangga maupun lantai, sedangkan atapnya dari bambu berlapis ijuk.
Atap itu sekaligus menjadi dinding rumah. Hebatnya, konon, bangunan
tradisional ini tahan gempa dan itu dibuktikan dengan keberadaannya
sejak ratusan tahun silam.
Dalam
pembuatannya tidak memakai paku atau pasak, melainkan cukup diikat
dengan rotan. Unik dan artistik. Tak heran bila bangunan itu distilir
untuk bangunan modern seperti halnya Kantor DPRD Sulteng dan Museum
Negeri Sulteng.
Sayangnya,
saat ini kedua bangunan tua (Tambi dan Buho) itu tidak terurus. Bahkan
pintu Tambi hilang pada Maret lalu. Papan pengenal yang menunjukkan
sebagai cagar budaya pun sudah kabur. Itu pun tidak lagi terpasang di
halaman, melainkan tersimpan di kolong rumah.
Setali
tiga uang dengan Tambi dan Buho, demikian pula kondisi megalit di
Behoa, baik di Desa Doda, Desa Hanggira, maupun di Desa Bariri. Sekitar
lima tahun lalu (1996/1997) masing-masing situs megalit dijaga petugas
yang khusus ditunjuk oleh Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Depdiknas.
Namun, kini (2002) tidak lagi, karena petugas tak pernah mendapat honor.
Makin sepi
Adanya
benda-benda megalit di Behoa yang mendapat perhatian para peneliti dan
turis, bagi Eka memang membanggakan. Dulu setiap minggu selalu ada saja
wisman datang berkunjung, meski jumlahnya hanya 2 – 3 orang. Sayangnya,
sejak meletus kerusuhan sosial di Poso tahun 1998, Lembah Behoa jarang
dikunjungi wisatawan, meski sesungguhnya kawasan itu sama sekali tidak
terlibat dalam konflik.
Sayangnya
pula, tidak ada anggota masyarakat Behoa tertarik pada benda-benda
tersebut. Padahal seorang arkeolog dari Universitas Indonesia (UI),
Jakarta, beberapa tahun lalu menawarkan, kalau ada pelajar di Behoa yang
tamat SMU, bisa langsung diterima kuliah di UI tanpa menanggung biaya
pendidikan. Tawaran itu tidak bersambut.
Biar
bagaimanapun, beberapa warga Behoa yakin, di masa datang wisatawan akan
berkunjung kembali. Alasannya, Doda merupakan tempat yang memang sangat
menarik – selain pemandangan alamnya, juga karena peninggalan
prasejarah megalit berupa patung-patung dan kalamba berada di tengah
kampung.
Namun,
masalah klasik masih menanti, yakni pengaspalan jalan. Itulah yang kini
(tahun 2002) dinanti-nantikan saudara-saudara kita di Behoa. Nah,
akankah Behoa terisolasi sebagaimana keberadaan peninggalan-peninggalan
megalitnya yang masih misterius?*
0 komentar:
Posting Komentar