Loading...

BlogUpp!

Feryzal Dolu Magindali ( KPA RECHINS). Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Asal Usul Palu

Kota Palu yang berada tepat di tengah-tengah pulau sulawesi merupakan sebuah kota yang kecil yang berpenduduk sekitar 400rb jiwa. Memiliki kultur masyarakat heterogen, berasal dari hampir seluruh suku bangsa negeri ini.

Dalam rentan sejarah bangsa ini, kota Palu sangat jarang di sebutkan baik itu sejarah sebelum maupun sesudah kemerdekaan. yang kemudian memunculkan berbagai pertanyaan, kenapa yah? apa sebabnya bisa begitu? apakah Kota Palu belum ada pada saat itu?

Dalam kesempatan ini kami mencoba mengungkap kembali berbagai peristiwa penting yang terjadi di Palu yang saat ini sedikit terlupakan (atau mungkin tidak pernah didapatkan di bangku sekolah?) dan mengendap di perpustakaan-perpustakaan dan di rak-rak buku kita yang sudah berdebu, seperti debu-debu yang beterbangan di dalam kota.


Sekilas,

Untuk ukuran sebuah kota, dalam hal ini sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan Palu telah berumur lebih dari 400 tahun yang di diami oleh penduduk asli yaitu suku Kaili. Yang sampai saat ini menjadi salah satu suku yang terbanyak jumlah penduduknya di Sulawesi Tengah yang berjumlah sekitar 45% dari keseluruhan jumlah penduduk Sulawesi Tengah.

Sangat sedikit literatur yang membicarakan kota Palu, kalaupun ada usianya sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. hal ini menjadi salah satu penghambat penelusuran sejarah. namun banyak hal yang dapat dilakukan untuk melacak sejarah yang terlupakan ini, salah satunya dengan folk-tale (cerita rakyat) yang masih ada dimasyarakat sampai saat ini.


Sedikit mengali,

Pada awalnya peadaban to-Kaili terletak di pegunungan yang mengintari laut Kaili (saat itu kata Palu belum digunakan, karena lembah Palu masih berupa lautan) yang terdiri dari beberapa Kerajaan lokal. to-Kaili juga terdiri dari beberapa subetnik Kaili diantaranya To-Sigi, To-Biromaru, To-Banawa, To-Dolo, To-Kulawi, To-Banggakoro, To-Bangga, To-Pakuli, To-Sibalaya, To-Tavaili, To-Parigi, To-Kulavi dan masih banyak lagi subetnis Kaili lainnya.

To-Kaili mendiami hampir seluruh seluruh Kota Palu, Kab. Donggala, Kab. Sigi dan Kab. Parigimautong.

Selain itu to-Kaili juga mempunyai beberapa dialek diantaranya dialek Ledo, Rai, Tara, Ija, Edo/Ado, Unde, dan lain-lain. an dari semua dialek, dialek Ledo merupakan dialek yang umum di gunakan. Semua dialek Kaili merupakan dialek yang dibedakab dari kata "sangkal", karena semua jenis dialek Kaili mengandung pengrartian "tidak".

Kaili sendiri konon katanya diambil dari satu jenis pohon yang bernama Kaili (saat ini sudah punah) sebuah pohon yang sangat besar dan tinggi yang menjadi penanda daratan bagi orang-orang yang memasuki teluk Kaili (teluk Palu dulu bernama teluk Kaili). Pohon Kaili ini diperkirakan terletak diantara Kalinjo (sebelah timur Ngata Baru) dan Sigimpu (sebelah Tenggara desa Bora). ditengarai pohon ini terletak di Ngata Kaili (sebuah kampung yang terletakdi sebelah selatan Paneki, saat ini masih didiami oleh masyarakat etnik Kaili).

Dalam Epos Galigo tercatat satu riwayat Sawerigading, yang pernah menginjakan kakinya di tanah Kaili, peristiwa ini terjadi sekitar abad 8-9 M. Cerita tentang Sawerigading sangat populer di masyarakat Bugis dan juga masyarakat Kaili. Peristiwa ini juga merupakan cikal bakal terjalinnya hubungan dagang antara Kerajaan-Kerajaan di Tanah Kaili khususnya Kerajaan Banawa dan Kerajaan Sigi.

Kapan adanya Palu?

Teluk Kaili dahulu sangat luas yang tepi pantai sebelah barat berada di Desa Bangga, di belah timur sampai ke Desa Bora dan mengintari Desa Loru. Bisa di bayangkan seperti apa lembah Palu pada saat itu. proses surutnya laut teluk Kaili diperkirakan terjadi sebelum Abad 16, sebab pada Abad 16 sudah ada Kerajaan Palu.

Ada beberapa versi tentang surutnya laut Kaili yang berkebang di masyarakat, salah satunya adalah saat seekor anjing yang mengganggu ketenangan seekor belut lalu kemudian terjadi perkelahian hebat yang menyebabkan sang belut keluar dari lubangnya kemudian oleh si anjing, belut tersebut di seret menuju laut dan serta merta air laut pun surut dan berakhir di talise.

Lubang belut itu yang kemudian menjadi Rano Lindu (Danau Lindu) sedangkan tanah bekas di seretnya sang belut kemudian menjadi sungai Palu.

Dalam versi lain di sebutkan proses surutnya air laut terjadi pada saat Kerajaan sigi yang saat itu di pimpin oleh seorang perempuan bernama Ngilinayo atau lebih di kenal dengan nama Itondei sedang melakukan pesta besar untuk rakyat Sigi da terjadi sebuah bencana besar yang mengguncang seluruh daerah Tanah Kaili. bencana itu menyebabkabkan laut Kaili menyusut dan membentuk daratan yang pada saat itu di sebut "LEMBA" atau lembah. tidak diketahui berapa lama proses ini berlangsung. pun halnya dengan menjadi subur dan nyamannya "LEMBA" untuk ditinggali.

Subur dan nyamannya lembah Kaili menggoda para masyarakat yang pada saat surutnya laut Kaili sudah menjadi masyarakat pegunungan untuk menempatinya. terjadilah gelombang urban baik dari barat lembah maupun dari timur lembah. di timur lembah terjadi dua gelombang yaitu:

- gelombang pertama menempati daerah yang di tumbuhi ilalang (Biro) yang sekarang bernama Biromaru

- gelombang kedua memecah diri menjadi dua, kelompok yang satu pun memilih Biromaru dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju Palu.

Gelombang urban ini kesemuanya berasal dari Raranggonau, sebuah daerah yang terletak di sebelah timur Paneki.

Untuk menamai tempat yang di diaminya (dalam hal ini urban yang menuju ke Palu) maka masyarakat menanan Avo mPalu di tepi sungai Palu (tidak diketahui dimana letak yang pasti). Avo mPalu adalah adalah salah satu jenis bambu yang bentuknya kecil (Avo mPalu = bambu kecil) yang tumbuh di Daerah Raranggonau. dan seterusnya nama Palu ini digunakan.

dari barat lembah terjadi satu gelombang yang berasal dari bangga lalu kemudian menempati satu wilayah yang kini dikenal dengan nama Dolo.


Berapa usia kota Palu?

Pada Abad 16 dalam Aksara Lontara telah di sebutkan satu Kerajaan di tanah Kaili yang bernama Kerajaan Palu. punhalnya para intelektual belada pada Abad 18 telah menggunakan kata Palu untuk menunjuk daerah lembah Kaili.

Patut ditelusuri kapan tepatnya penggunaan kata Palu untuk Kota Palu sebab hal ini dapat mengungkap tabir peradaban masyarakat Kaili. Sayangnya, masyarakat Kaili tidak menganut budaya tulis, melainkan budaya lisan. Hal ini disebabkan karena orang Kaili mempunyai satu filosofi bahwa tubuh adalah dunia yang kecil, dan apun yang terjadi di dunia merupakan kejadian dalam diri. Dengan kata lain tubuh adalah rangkaian catatan-catatan yang terus mengalir dari waktu kewaktu.

Pengertian Kaili secara lingua franca lebih merujuk kepada tubuh, tempat mengalirnya darah. No -Kaili = mengaliri, dari hulu ke hilir memberi kehidupan dan pengalaman baru kepada apapun yang dilaluinya.


= catatan khusus=

dari semua peradaban to-Kaili yang coba diungkap disini masih ada lagi satu peadaban yang di tengarai juga sangat tua yaitu peradanan Lando, yaitu peradaban to-Kaili yang terletak diantara raranggonau dan tompu. dan ada satu Kerajaan Kaili tertua yang bernama Kerajaan Sidima yang terletak di Negeri Kalinjo (sebelah timur Tompu). Namun, kurangnya literatur menyebabkan pembahasan ini belum dapat di publikasikan.

Pada tulisan ini juga kami tidak menggunakan kata bolovatu mPalu tapi avo mPalu, dikarenakan penamaan bambu bagi To-Kaili untuk bolovatu digunakan untuk bambu berukuran besar seperti bambu gobong. Sedangkan avo di gunakan untuk bambu yang berukuran lebih kecil.

Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber yang di observasi secara literatur dan wawancara.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENCARI PATUNG MEGALITIK DI BEHOA



EKSPEDISI Tadulako. Sesuai namanya, sasaran perjalanan saya bersama enam pemuda adalah Patung Tadulako di Lembah Behoa. Kebetulan dua di antara anggota rombongan berasal dari Universitas Tadulako, perguruan tinggi di Palu.
Ekspedisi berlangsung pada 24 April – 2 Mei 2002. Diawali dengan menumpang sebuah truk dari Palu menuju Danau Tambing, 85 km selatan Palu. Malamnya, kami menginap di tepi danau yang amat dingin, sekitar 15 derajat celsius, maklum musim hujan.
Kamis, 25 April, kami memulai ekspedisi dari titik awal di Danau Tambing (Kalimpaa), 1.700 m dpl di salah satu kawasan utara Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Kami menapaki jalur selatan Lembah Napu (Lore Utara). Jalan berliku, menanjak dan menurun, cukup melelahkan. Perjalanan hari pertama membawa kami istrahat di Desa Toe yang lebih dikenal sebagai Desa Dodolo.

Dihadang hujan dan banjir

Kami kembali mendirikan tenda, kali itu di samping jembatan, dekat base station Motorola milik Balai TNLL (BTNLL). Rupanya, kegiatan kami memasang tenda sambil memasak nasi dan air dengan kompor rakitan dari kaleng susu menarik perhatian warga setempat.
Mereka tak hanya datang menonton, tapi juga memasok air bersih, karena sungai sedang banjir. Salah seorang yang cukup besar bantuannya pada kami adalah Pak Djakariah Kaiyo, sarjana pendamping masyarakat yang sudah menjadi warga Dodolo sejak tahun 1994. Ia sukarela mengantar kami melapor ke rumah kepala desa, juga membantu soal logistik.
Menjelang sore hari kedua kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Talabosa. Celakanya, saat itu hujan turun. Atas persetujuan Kades Talabosa, D.S. Ragi, kami bermalam di baruga (rumah pertemuan) milik BTNLL. Di sana pun kami disambut baik, sebagaimana di desa-desa sebelumnya.
Dari beberapa pemuka masyarakat kami mendapat informasi tentang adat istiadat, sejarah, sumber daya alam dan berbagai hal mengenai Lembah Napu/Behoa di Tanah Lore. Memang sepanjang perjalanan, kami selalu mengumpulkan informasi, baik latar belakang sejarah, keberadaan benda-benda megalit, maupun sumber daya alam.
Perjalanan demi perjalanan dilakoni, meski badan pegal dan kaki lecet-lecet. Hari ketiga, Sabtu (27 April), kami meninggalkan Talabosa. Mestinya kami bisa langsung ke Desa Doda, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, 170 km selatan Kota Palu, yang baru dimekarkan September 2001. Namun, hujan semalam meruntuhkan jembatan Sungai Torire. Kami terpaksa menunggu sampai sore hari sembari menanti selesainya rakit bambu buatan warga Desa Torire.
Setelah menyeberang dengan rakit pada sore harinya, kami pun bermalam di baruga di tengah perkampungan Torire. Di desa ini pun kami banyak mendapat informasi mengenai sejarah Tanah Behoa dan berbagai kekayaan TNLL. Di TNLL terdapat sebaran terutama satwa endemik Sulawesi, seperti anoa, babirusa, rusa, tarsisus, musang, dan lainnya.
Tanah longsor dan jembatan rusak, sangat menghambat perjalanan ekspedisi kami. Menurut warga setempat, ambruknya jembatan Sungai Torire, terjadi sudah untuk kesekian kalinya. Penyebabnya, musim hujan, yang disusul banjir setiap saat. Konstruksi jembatan beton juga tidak sesuai dengan tanah pinggir sungai yang labil, sehingga mudah terbawa arus sungai. Selama dua bulan sebelumnya, jembatan tersebut sudah tiga kali rubuh. Malah, akhir Maret lalu, tragedi itu menelan dua korban jiwa setelah terjungkal bersama truk yang ditumpanginya.

Megalit monumental

Kami meninggalkan Torire pada Minggu, 28 April, usai sarapan untuk menjelajah sejauh 18 km menuju Desa Doda. Sepanjang jalur Torire - Doda jalan tertimbun longsor karena erosi. Banyak pohon tumbang merintangi jalan, menghambat lancarnya transportasi. Bisa dimengerti dampak selanjutnya, harga barang kebutuhan sehari-hari pun jadi jauh lebih mahal di Lembah Behoa.
Kami menginap di baruga desa. Baruga Doda paliang besar dan nyaman. Dua kamar yang tersedia membuat tubuh kami merasa lebih hangat, nyaman. Maklum musim hujan di Lembah Napu dan Behoa terasa sangat dingin bagi kami yang biasa berada di daerah panas Palu.
Bendera merah putih yang dikibarkan di beranda baruga memancing warga untuk singgah. Sikap hangat mereka membuat kami tidak merasa terasing. Bahkan seorang warga dekat baruga meminjami pelita minyak tanah untuk penerangan. Maklum, saat itu perangkat dinamo Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibuat tahun 1989 dan selama ini jadi penerang desa – rusak sejak Januari lalu.
Doda berpenduduk 1.015 jiwa dengan luas 16.548 hektar, yang dikelilingi pegunungan. Selain dikenal memiliki pemandangan sangat indah, di sana banyak terdapat benda purbakala megalit yang asal-usulnya diperkirakan dari masa antara 2.000 – 500 tahun SM. Wah, mungkinkah sejak itu pula kawasan ini sudah menjadi hunian manusia?
Sore hari, dua jam setiba di sana, kami pun berkunjung ke situs megalit bernama Padang Tadulako, jaraknya 1,5 km dari baruga. Kami melewati pematang sawah, rawa-rawa tempat kerbau berkubang, dan rimbunanya padang ilalang.
Dari jauh sudah tertangkap mata di antara hamparan padang Buleli tegak berdiri Patung Tadulako. Patung setinggi 2 m itu menjadi patung monumental, tertinggi dan terbesar di lembah Behoa.
Patung itu berdiri kokoh, tegak lurus dengan langit. Bentuk kepalanya terlihat tidak rata di bagian atasnya, sedikit ada benjolan. Secara fisik pembuatannya agak kasar dibanding dengan Palindo, patung besar setinggi 4 m di Lembah Bada, sekitar 30 km dari Behoa.
Pembuatan Patung Tadulako tampaknya lebih sederhana. Beberapa cirinya tampak unik, jidatnya tidak terlalu menonjol, hidung pesek tapi agak memanjang, dan mata lebar.
Tangannya pun tidak terlalu besar, tampak terulur ke bawah dekat kelamin. Bagian bawah (pusar) menunjukkan jenis kelamin laki-laki, sebagai simbol keperkasaan atau ketadulakoan bagi laki-laki.
Istilah Tadulako ditemui di dalam kehidupan beberapa suku di Sulawesi Tengah, yakni suku Behoa, Napu, Bada, Mori, Kaili dan Pamona. Suku-suku yang menggunakan istilah Tadulako tersebut memiliki kekerabatan yang kuat ditandai kesamaan subdialek bahasa, adat-istiadat, dan latar belakang sejarah.
Jadi, Tadulako tak hanya menjadi simbol keteladanan, kepemimpinan, dan keberanian nenek moyang suku Behoa.
Itu karena, menurut K.S. Malonta, tokoh masyarakat adat Behoa di Desa Torire, “Nama Tadulako untuk patung di Behoa itu, sudah dikenal sejak dulu. Nama itu juga simbol persatuan dan kesatuan.”
Di dekat Patung Tadulako terdapat dua Kalamba, semacam gentong batu besar. Tiga megalit tersebut hanya sebagian kecil dari puluhan patung manusia baik yang berdiri maupun yang rebah, kalamba, batu-batu dakon, dan lainnya yang tersebar di lembah Behoa. Tak hanya berujud patung manusia, ada juga patung kerbau, biawak, dan monyet. Patung-patung itu terletak di Bukit Pokokea, Kampung Bariri, sekitar 4 km dari Doda. Peninggalan megalit juga dapat ditemukan di Desa Hanggira dan Lempe.
Masalahnya, apakah orang Behoa yang membuat peninggalan arkeologi tersebut?
“Secara turun-temurun kami hanya tahu bahwa benda itu merupakan peninggalan zaman dahulu. Kami tidak tahu, apakah leluhur kami yang membuat atau bukan,” kata Eka Mujianto Winono tokoh masyarakat Doda yang asli Suku Behoa.
Rumah tua antigempa
Selain peninggalan megalit, di Doda terdapat pula rumah tua berusia ratusan tahun dengan arsitektur tradisional Suku Behoa. Masyarakat menyebut Tambi sebagai tempat kediaman dan Buho untuk lumbung padi. Dua bangunan itu terletak di dekat lapangan bola, setelah sebelumnya si pemilik memindahkan dari permukiman lama dekat sebuah bukit.
Kedua bangunan tua milik T. Taro (71) itu terakhir kali ditempati tahun 1971. Taro memilih menempati rumah biasa di samping Tambi, menyusul dijadikannya rumah itu untuk cagar budaya oleh Direktorat Perlindungan Sejarah dan Purbakala.
Seluruh bagian bangunan Tambi maupun Buho terbuat dari kayu pilihan, baik tiang penyangga maupun lantai, sedangkan atapnya dari bambu berlapis ijuk. Atap itu sekaligus menjadi dinding rumah. Hebatnya, konon, bangunan tradisional ini tahan gempa dan itu dibuktikan dengan keberadaannya sejak ratusan tahun silam.
Dalam pembuatannya tidak memakai paku atau pasak, melainkan cukup diikat dengan rotan. Unik dan artistik. Tak heran bila bangunan itu distilir untuk bangunan modern seperti halnya Kantor DPRD Sulteng dan Museum Negeri Sulteng.
Sayangnya, saat ini kedua bangunan tua (Tambi dan Buho) itu tidak terurus. Bahkan pintu Tambi hilang pada Maret lalu. Papan pengenal yang menunjukkan sebagai cagar budaya pun sudah kabur. Itu pun tidak lagi terpasang di halaman, melainkan tersimpan di kolong rumah.
Setali tiga uang dengan Tambi dan Buho, demikian pula kondisi megalit di Behoa, baik di Desa Doda, Desa Hanggira, maupun di Desa Bariri. Sekitar lima tahun lalu (1996/1997) masing-masing situs megalit dijaga petugas yang khusus ditunjuk oleh Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Depdiknas. Namun, kini (2002) tidak lagi, karena petugas tak pernah mendapat honor.

Makin sepi

Adanya benda-benda megalit di Behoa yang mendapat perhatian para peneliti dan turis, bagi Eka memang membanggakan. Dulu setiap minggu selalu ada saja wisman datang berkunjung, meski jumlahnya hanya 2 – 3 orang. Sayangnya, sejak meletus kerusuhan sosial di Poso tahun 1998, Lembah Behoa jarang dikunjungi wisatawan, meski sesungguhnya kawasan itu sama sekali tidak terlibat dalam konflik.
Sayangnya pula, tidak ada anggota masyarakat Behoa tertarik pada benda-benda tersebut. Padahal seorang arkeolog dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta, beberapa tahun lalu menawarkan, kalau ada pelajar di Behoa yang tamat SMU, bisa langsung diterima kuliah di UI tanpa menanggung biaya pendidikan. Tawaran itu tidak bersambut.
Biar bagaimanapun, beberapa warga Behoa yakin, di masa datang wisatawan akan berkunjung kembali. Alasannya, Doda merupakan tempat yang memang sangat menarik – selain pemandangan alamnya, juga karena peninggalan prasejarah megalit berupa patung-patung dan kalamba berada di tengah kampung.
Namun, masalah klasik masih menanti, yakni pengaspalan jalan. Itulah yang kini (tahun 2002) dinanti-nantikan saudara-saudara kita di Behoa. Nah, akankah Behoa terisolasi sebagaimana keberadaan peninggalan-peninggalan megalitnya yang masih misterius?*


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kamus Bahasa Inggris Online - Kamus Inggris Indonesia

Terjemahkan kalimat bahasa Inggris ke Indonesia
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kamus Bahasa Inggris
Kamus Inggris-Indonesia
Kamus Indonesia-Inggris

Bagaimana cara belajar bahasa Inggris dengan mudah, cepat dan efektif? Ada banyak metode tapi setiap teknik mengharuskan satu hal: ketekunan! Sama seperti belajar silat, atau main alat musik, nyanyi, dsb. belajar bahasa Inggris juga harus dilakukan secara rutin. Jika ada kata / vocabulary yang baru dan tidak tahu artinya, maka segera cari di kamus! Perbanyak membaca dan menulis dalam bahasa Inggris, coba nonton film tanpa subtitle (untuk mengasah listening skill), dan kalau ada kesempatan, cobalah berlatih percakapan / English conversation bersama siapa saja.
Website KamusBahasaInggris.com dibuat untuk memudahkan proses belajar tersebut. Situs ini merupakan alat bantu untuk mencari arti kata bahasa Inggris-Indonesia. Tidak perlu membuka kamus tebal dan berat, mencari di tiap halaman. Cukup ketik kata yang ingin dicari kemudian klik salah satu tombol, maka padanan kata akan langsung tampil. Jauh lebih cepat dan mudah.
Pada jaman online seperti sekarang ini, proses belajar bisa dilakukan dari mana saja. Kalau jaman dulu kita harus pergi ke tempat kursus, sekarang dengan materi yang melimpah di Internet, kita bisa belajar sendiri. Bahkan ada sejumlah website yang menawarkan English course secara online di mana kita belajar per modul, dengan pengajar native speaker. Terdapat juga banyak forum bahasa untuk mendiskusikan grammar, idiom, dsb. Sekali lagi yang penting adalah ketekunan; asalkan serius dan konsisten, pasti akan mahir. Entah belajar sendiri ataupun belajar di tempat kursus bahasa Inggris.
Selamat belajar! :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS